METODE PEMAHAMAN AYAT-AYAT AL-QUR’AN YANG MENGANDUNG BALAGHAH





Oleh : Dr. H. Masyhuri Putra, Lc. MA

Abstrak
Ilmu Balaghah merupakan di antara perangkat media yang dapat mengungkap rahasia kemukjizatan al-Qur’an. Ilmu ini menjadi salah satu instrument yang dapat membantu seseorang dalam berinteraksi dengan al-Qur’an. Seorang mufassir tidak bisa terelakkan dari ilmu ini dalam metode pemahaman kandungan isi al-Qur’an dan pesan-pesan yang tertuang di dalamnya. Seorang mufassir harus mampu mengklasifikasi ayat-ayat al-Qur’ān yang mengandung Balāghah. Dengan demikian, ia akan dapat mengungkap dan menyingkap rahasia yang ada disebalik kata, kalimat ataupun ungkapan bahasa al-Qur’ān. Ilmu Balāghah adalah di antara ilmu yang bisa menjelaskan makna sebenar dan tersirat yang terkandung di sebalik ayat tersebut. Sehingga ia dapat mengungkap makna yang mulia dari setiap ayat al-Qur’ān. Kekeliruan dan kesalahan akan terjadi ketika seorang mufassir tidak menjelaskan ayat-ayat yang mengandungi Balāghah’. Artinya, ayat-ayat ini perlu kepada penjelasan yang lebih rinci dan mendalam. Iaitu, dengan merujuk kepada asal perkataan masing-masing setiap kata dan penggunaannya dalam bahasa Arab. Memahami seluk-beluk bahasa Arab, sehingga tidak menimbulkan kekeliruan, kesalahfahaman bahkan penyimpangan di dalam pemahaman terhadap kata dan ayat-ayat suci al-Qur’ān tersebut.



1.Pendahuluan
Bahasa Arab merupakan salah satu dari bahasa terkemuka dunia. Ia bahasa yang kaya dan memiliki daftar perbendaharaan kata yang sangat luas. Penguasaan bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengannya, seperti ilmu Balaghah[1] adalah kunci utama bagi seorang penterjemah ataupun mufassir al-Qur’ān. 
Seorang mufassir hendaklah menguasai bahasa Arab dan seluk-beluknya. Ia harus matang dalam memahami teks-teks yang berbahasa Arab. Apabila hal ini tidak dilakukan, maka akan menjadi faktor utama munculnya penyimpangan dan kesalahan dalam karya yang dilakukan. Ini artinya, bahwa seorang yang hendak menafsirkan al-Qur’ān mestilah memiliki pengetahuan dalam berbagai gaya penyampaian dan mempunyai kecakapan yang mumpuni dalam bahasa Arab dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya.

Menjadi kehendak Allah Subhānahu Watacālā ketika mengutus Nabi dan Rasul terakhir dari kalangan bangsa Arab, dan menurunkan wahyu-Nya dalam bahasa Arab yang jelas, seperti firman Allah :

Artinya:
Dan sesungguhnya al-Qur’ān (yang di antara isinya kisah-kisah yang tersebut) adalah diturunkan oleh Allah Tuhan sekalian alam. Ia dibawa turun oleh Malaikat Jibrīl yang amanah. Ke dalam hatimu supaya engkau (wahai Muhammad) menjadi salah seorang dari pemberi-pemberi ajaran dan amaran (kepada umat manusia). (Ia diturunkan) dengan bahasa Arab yang fasih serta terang nyata.

            Allah menyuruh umat manusia untuk mau berfikir dengan menurunkan al-Qur’ān berbahasa Arab yang jelas tersebut, seperti firman Allah s.w.t :

Artinya:
Sesungguhnya Kami menurunkan Kitab itu sebagai Qurān yang dibaca dengan bahasa Arab, supaya kamu (menggunakan akal untuk) memahaminya.

            Allah telah mempersiapkan Nabi Muhammad s.a.w. seorang yang fasih dalam bahasa Arab. Baginda seorang yang dididik dan dibesarkan dalam keluarga Bani Sacad, iaitu keluarga yang dikenal fasih di dalam bertutur bahasa Arab. Bahkan, ketika Abu Bakar radhiallāhu canhu berkata kepada Rasulullah s.a.w pada masa itu : Aku tidak melihat seorangpun yang lebih fasih daripada engkau wahai Rasulullah, maka Rasulullah s.a.w. berkata : “Tidak ada yang membantahnya, sebab aku dari keturunan kaum Qurays, dan aku dibesarkan di dalam keluarga Bani Sacad”.[4]

            Ibn Ishāq berkata : Dan rasulullah pernah berkata kepada para sahabatnya : “Aku adalah orang yang paling fasih dalam berbahasa Arab di antara kamu sekalian, aku dari kaum Qurays, dan di besarkan di dalam keluarga Bani Sacad ibn Bakar”.[5] Ini membuktikan, bahwa semenjak kecil rasulullah s.a.w. telah mendapatkan pendidikan bahasa dari kalangan keluarga yang menjunjung tinggi kefasihan berbahasa Arab.

2. Ilmu Balaghah
Ilmu al-Balaghah dibagi menjadi beberapa kelompok seperti: Ilmu Ma’ani : ilmu yang mempelajari susunan bahasa dari sisi penunjukan maknanya, ilmu yang mengajarkan cara menyusun kalimat agar sesuai dengan muqtadhā al-hāl, Ilmu Bayan : ilmu yang mempelajari cara-cara penggambaran imajinatif, Ilmu Badii’ : ilmu yang mempelajari karakter lafazh dari sisi kesesuaian bunyi atau kesesuaian makna.[6]

Dalam kajian para mufassir, pembahasan ilmu ini tidak bisa dielakkan lagi, bahkan keberadaan ilmu ini sangat penting dan urgen. Ilmu Balaghah merupakan perangkat media yang dapat menghantarkan seseorang kepada pengetahuan tentang I’jaz al-Qur’an. Ilmu Balaghah merupakan salah satu instrument yang dapat membantu seorang yang berinteraksi dengan al-Qur’an, terutama mufassir dalam memahami kandungan isi al-Qur’an dan pesan-pesan yang tertuang di dalamnya.

Seorang mufassir harus mampu mengklasifikasi ayat-ayat al-Qur’ān yang mengandung Balāghah. Dengan demikian, ia akan dapat mengungkap dan menyingkap rahasia yang ada disebalik kata, kalimat ataupun ungkapan bahasa al-Qur’ān.

Banyak terdapat ayat-ayat al-Qur’ān yang mengandung Balāghah, dan menjadi pembahasan ulama ilmu ini dalam karya-karya mereka. Berikut akan penulis paparkan di antara ayat-ayat tersebut :
3. Pemahaman Ayat-ayat al-Qur’ān yang mengandung Balāghah


3.1 Pemahaman Surah Al-Isrā’ Ayat 29 

Firman Allah s.w.t :
Memahami ayat di atas dengan terjemahan atau zahirnya saja tidaklah cukup. Pemahaman secara zahir bisa saja membawa kepada kekeliruan dan kesalahan dalam pemahaman ayat tersebut. Ilmu Balāghah adalah di antara ilmu yang bisa menjelaskan makna sebenar dan tersirat yang terkandung di sebalik ayat tersebut. Sehingga ia dapat mengungkap makna yang mulia dari setiap ayat al-Qur’ān.

            Melihat salah satu bentuk terjemahan al-Qur’ān Secara Lafziyah[8] ayat ini diterjemahkan seperti berikut :

“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (kikir), dan jangan (pula) kamu mengulurkannya dengan sehabis-habis uluran (terlalu pemurah), maka kamu akan menjadi tercela dan menyesal”.[9]

            Terjemahan di atas hanya memberikan penjelasan yang singkat, iaitu (kikir) dan (terlalu pemurah) kepada perumpamaan yang disampaikan oleh ayat tersebut. Penjelasan singkat seperti ini belum bisa difahami oleh pembaca terjemahan al Qur’an, sebagaimana terjemahan ini belum menghantarkan seseorang kepada maksud yang dikehendaki oleh ayat yang mulia ini.

            Apabila ayat ini dikaji dari aspek Balāghah al-Qur’ān, maka ia akan memiliki makna yang sangat tinggi dan menjadi mukjizat dari ketinggian bahasa al-Qur’ān. Dalam ayat ini terdapat kinayah[10] yang sangat sempurna, sebagaimana al-Qur’ān itu telah menjadi mukjizat sejak diturunkannya pada masa Rasulullah sallallāhu calaihi wasallam sampai ke hari akhirat. Ia tetap menjadi petunjuk yang benar untuk membimbing umat manusia.

            Imām Ibn Kathīr menjelaskan, bahwa ayat ini sebagai suatu perintah untuk berhemat dalam kehidupan dan celaan terhadap sifat bakhil serta larangan untuk berlebih-lebihan. Iaitu, “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu” janganlah engkau berlaku bakhil dan kikir dengan tidak memberi seseorang sesuatu apapun, sebagaimana halnya dengan orang-orang Yahudi. Allah melaknat mereka disebabkan perkataan mereka yang menyatakan bahwa tangan Allah terbelenggu, iaitu bahwa mereka menisbahkan sifat itu kepada-Nya. Ayat “dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya”  iaitu janganlah kamu berlebih-lebihan dalam membelanjakannya, dimana kamu memberikannya di atas kemampuanmu dan mengeluarkan lebih dari pendapatanmu, karena perkara itu bisa membuatmu menjadi tercela dan menyesal. Ayat ini dikenal dalam bab al-Laf wa an-Nashr (اللف و النشر ), iaitu bahwa kamu akan tercela dan dicela orang-orang apabila kamu bersikap bakhil, dan menghinamu dan tidak perlu lagi kepadamu”.[11] 

Menurut al-Zajjāj (1998), makna dari ayat ini adalah larangan untuk tidak bakhil dan tidak berlebih-lebihan.[12] Ini merupakan satu permisalan terhadap keengganan orang yang bakhil dan pemberian orang yang berlebih-lebihan. Juga terdapat perintah untuk berhemat yang merupakan sikap antara berlebih-lebihan dan kebakhilan. Berlebih-lebihan dan sifat bakhil merupakan perkara yang bisa menjadikan seseorang itu menjadi tercela di sisi Allah. Sebagaimana seorang yang berlebih-lebihan tidak diredhai oleh Allah dan juga manusia. Seorang yang memerlukan akan berkata : Ia memberikannya kepada Fulan dan tidak memberikannya kepada saya. Dan seorang yang tidak memerlukannya akan berkata : Sungguh ia tidak bisa mengurusi perkara kehidupannya.[13]

Ayat ini sebuah kiasan tentang sifat bakhil yang sangat hebat, dimana tangan terbelenggu dan tidak bisa memberi dengan bentuk apapun juga, dan juga pemberian yang berlebih-lebihan dan tidak ada batasnya, karena perkara itulah yang akan menjadikan kamu tercela di atas kebakhilanmu, dan yang membuatmu menyesal oleh karena pembaziran hartamu.[14] Ayat ini merupakan suatu gambaran tentang sifat yang mesti dimiliki oleh setiap manusia di dunia ini. Pemahaman ‘janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu’ adalah sebuah sikap untuk tidak berlaku bakhil dan pelit. Sedangkan ‘janganlah kamu terlalu mengulurkannya’ adalah sikap untuk tidak terlalu boros dan menghambur-hamburkan harta yang bukan pada tempatnya.

Ayat ini mengajarkan seseorang untuk bersikap sederhana dalam perkara apa saja. Pemahaman seperti ini dikuatkan lagi oleh penutup ayat tersebut yang menerangkan akibat dari sifat bakhil dan boros, iaitu bahwa mereka akan menjadi tercela dan menyesal. Di ayat ini, diterangkan dua perumpamaan umat manusia, yang pertama orang yang tidak mau mengeluarkan hartanya di jalan Allah, dan kedua orang yang terlalu menafkahkan harta tanpa batasnya, sehingga bisa saja tindakannya itu menghinakan dan merugikan dirinya sendiri. 

Menurut Abu cUbaydah, bahwa majāz (kiasan) dari ayat ini terletak pada perkataan mereka : Janganlah engkau menahan apa yang semestinya engkau keluarkan dari haknya.[15] Sebagian ulama berpendapat, bahwa penterjemahan seperti ini dapat juga dikatakan sebagai terjemahan maknawiah atau tafsiriah. Dengan demikian, kandungan dari ayat ini akan menjadi jelas dan sampai pada tujuannya. Bentuk penterjemahan seperti ini diperlukan untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang berbeda dalam bahasa yang berbeda pula.

Untuk menghilangkan kesalahfahaman umat Islam, sebagian mereka yang menterjemahkan al-Qur’ān telah memberikan catatan kaki ke atas ayat ini. Seperti yang dilakukan oleh tim penterjemah Departemen Agama Republik Indonesia, iaitu ketika mereka telah menterjemahkan ayat ini secara harfiah, kemudian tim ini  memberikan penjelasan dan keterangan tentang yang dimaksud oleh ayat itu pada catatan kakinya.
Contohnya sebagai berikut :
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal”, Maksudnya, jangan kamu terlalu kikir, dan jangan pula terlalu pemurah.[16]



            Dengan memberikan penjelasan dan keterangan ke atas terjemahan ini, iaitu pada catatan kaki, maka apa yang di maksud oleh ayat ini bisa difahami dan dimengerti oleh setiap pembacanya. Meskipun penjelasan itu sangat singkat dan belum sampai kepada maksud yang sebenarnya. Paling tidak, pembaca terjemahan al-Qur’ān itu tidak berada dalam keraguan dan salah faham.

Pembahasan yang sama dengan di atas juga terdapat dalam firman Allah Tacālā :
 
Menurut Ibn Kathīr, kata  مغلولة  bermakna bakhil, menukil daripada cAli bin Abī Talhah, daripada Ibn cAbbās, bahwa mereka tidak bermaksud dengan ayat ini Allah akan manafkahkan, tetapi mereka mengatakan : Allah bakhil karena tidak memberikan apa yang ada di sisiNya, Maha Suci Allah dari apa yang mereka perkatakan.[18]

Al-Zuhayliy menjelaskan, bahwa tangan terbelenggu merupakan bahasa kiasan dari sifat bakhil, dan tangan terbuka merupakan bahasa kiasan dari sifat dermawan.[19]

Dalam Terjemahan Departemen Agama, ayat ini diterjemahkan dengan : “Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu", sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dila'nat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki”. [20]
3.2 Pemahaman Surah al-Isrā’ Ayat 24
Firman Allah s.w.t.:
Ayat ini telah banyak dikaji oleh para pakar bahasa Arab umumnya dan para ulama balāghah dan tafsir khususnya. Ulama tersebut banyak mengungkap dan menjelaskan setiap kata dan maksud yang hendak dituju oleh ayat ini. Dengan demikian, ulama tidak meninggalkan para pembaca al-Qur’ān dalam keraguan dan salah faham terhadap ayat-ayat yang akal mereka belum sampai kepadanya.

            Ayat ini dijelaskan oleh para ulama balāghah sebagai salah satu bentuk isticārah[22] iaitu dalam makna rendah diri dan sikap lemah lembut kepada kedua ibu bapa, sama juga dengan firman Allah yang maksudnya : “Bersikap rendah dirilah kepada orang-orang yang beriman, dan menyandarkan sifat ini kepada kasih sayang sebagai penambahan ke atas makna, seolah-olah ia berkata seperti rendah diri yang penuh dengan kelembutan, dan perkataan “min” dalam “min al-rahmah” menunjukkan asas atau dasar untuk lebih memberikan kasih sayang dan kelembutan kepada keduanya.[23]

Imām Ibn Kathīr menjelaskan maksud dari ayat ini adalah “bersikaplah rendah diri kepada keduanya dengan perbuatanmu, dan katakanlah wahai Rabku kasihanilah keduanya, baik itu ketika mereka di usia tua maupun ketika mereka wafat, sebagaimana mereka telah memelihara kami di masa kecil”[24]


Ayat ini menurut Imām al-Zamakhshariy menjelaskan dalam tafsirnya :

مبالغة في التذلل والتواضع لهما { مِنَ الرحمة } من فرط رحمتك لهما وعطفك عليهما ، لكبرهما وافتقارهما اليوم إلى من كان أفقر خلق الله إليهما بالأمس ،[25]
Maksudnya :
Ini merupakan bentuk kerendahan hati kepada kedua orang tua, iaitu dengan memberikan kasih sayang dan kelembutan yang lebih kepada mereka berdua, disebabkan pada hari ini mereka sudah tua dan memerlukan kepada seseorang yang pada masa dahulu merupakan makhluk Allah yang sangat memerlukan mereka berdua.

Dalam Terjemahan ‘Al-Qur’ān Secara Lafziyyah’ oleh Yayasan Pembinaan Masyarakat Islam, ayat ini diterjemahkan sebagai berikut :

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan kasih sayang, dan ucapkanlah : “Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana keduanya memeliharaku (mengasihani aku) di waktu kecil”.[26] Namun pada terjemahan secara harfiah, perkataan “janāh ini masih diterjemahkan juga dengan “sayap (dirimu)”.[27] Maka, di antara terjemahan yang mungkin mendekati kepada kebenarannya adalah :        

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".[28]

            Terdapat beberapa ayat al-Qur’ān yang memiliki makna yang sama dengan ayat di atas, di antaranya adalah :


Firman Allah Tacālā :


Kemudian firman Allah Ta’ālā :
            Seorang mufassir ataupun penerjemah mestilah memberikan penjelasan dan keterangan ke atas ayat-ayat seperti ini. Baik itu pada catatan kaki maupun keterangan singkat, sehingga ayat ini bisa difahami dan dimengerti oleh setiap pembacanya. Terutama ke atas ayat-ayat yang mengandung balaghah al-Qur’ān dari aspek bahasanya.


3.3. Pemahaman Surah Maryam Ayat 4 

Firman Allah Tacālā :

Memahami ayat di atas secara harfiah tidak akan menyampaikan seseorang kepada makna yang maksud oleh ayat ini. Yang difahami oleh pembaca hanyalah sebatas perubahan tanda-tanda fisik yang yang ada pada diri Nabi Zakaria ‘alayhissalām. Pemahaman seperti ini tidak memberikan makna apapun dari apa yang dikehendaki Allah Subhānahu Wata’ālā.

Ibn Kathīr dan Abu Bakar al-Jazāiriy menjelaskan, yang di maksud dalam ayat ini adalah pemberitahuan tentang kelemahan dan umur yang sudah tua, iaitu dengan menampakkan tanda-tanda yang zahir maupun batin.[32]

Menurut Imām al-Zamakhshariy, pada ayat ini terdapat isti’ārah, iaitu menyerupakan uban yang memutih, cahayanya dan penyebarannya di atas kepala seperti api yang menyala-nyala, dan menyandarkan api yang menyala ke atas kepala sebagai tempat tumbuhnya rambut. Dengan ungkapan inilah Nabi Zakaria memohon kepada Allah agar dikabulkan permohonannya.”[33]

Wahbah al-Zuhayliy menjelaskan, pada ungkapan وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي terdapat kināyah[34] mengenai hilangnya kekuatan dan melemahnya badan. Pada  اشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْباً  terdapat isti’ārah tab’iyyah, iaitu menyerupakan tersebarnya uban dengan kayu bakar yang menyala, kemudian meminjam kata menyala untuk penyebarannya. Ini termasuk bentuk isti’ārah yang paling baik dalam percakapan orang Arab.[35]

Dalam terjemahan Departemen Agama Indonesia disebutkan : “Ia berkata "Ya Tuhanku, Sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, Ya Tuhanku”.[36] 

Terjemahan Departemen Agama Indonesia di atas tidak memberikan penjelasan apa-apa mengenai makna yang terkandung di dalam ayat ini. Pembaca terjemahan ini hanya sebatas mengetahui keadaan Nabi Zakaria ‘alayhissalām yang sudah tua, hanya mengetahui makna yang zahir saja. Artinya, pemahaman ayat-ayat seperti ini perlu untuk dilengkapi dan disempurnakan lagi, sehingga makna dan maksudnya bisa menjadi lebih jelas dan terang.

3.4 Pemahaman Surah al-Kahfi Ayat 42

Firman Allah Tacālā :
Menurut Imām al Zamakhshariy, Imām al-Alūsiy dan juga Wahbah al-Zuhayliy, membolak-balikkan kedua telapak tangannya ke atas apa yang telah ia nafkahkan di dalamnya merupakan kināyah dari kesedihan dan penyesalan, karena orang yang menyesal akan memukulkan tangan kanannya ke atas tangan kirinya.[38]

Menurut Imām al-Tabariy, perkataan  يقلب كفيه   menunjukkan keadaan orang kafir yang memiliki dua kebun ini membolak-balikkan kedua tangannya. Kesedihan dan penyesalan ini muncul dari apa yang telah ia nafkahkan dari kedua kebun tersebut. Pandangan yang sama juga diungkapkan oleh al Baghawiy dan al Mawardiy dalam tafsirnya.[39]

Tim dari Departemen Agama Republik Indonesia memberikan tambahan pada terjemah ayat di atas : “Dan harta kekayaannya dibinasakan; lalu ia membulak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan Dia berkata: "Aduhai kiranya dulu aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku".[40]


3.5 Pemahaman Surah al-Furqān Ayat 27

Firman Allah Tacālā :

Menurut Ibn Kathīr, ayat ini menjelaskan penyesalan seorang yang zalim yang berpaling dari jalan Rasulullah s.a.w. dan apa yang dibawanya dari kebenaran yang nyata, yang tidak ada keraguan di dalamnya, dan mengambil jalan selain jalan Rasulullah s.a.w, sedangkan pada hari kiamat tidak berguna lagi  penyesalan, ia menggigit kedua tangannya sebagai bentuk kesedihan dan penyesalan.[42]

Al-Baghawiy menambahkan bahwa yang di maksud dengan seorang zalim ini adalah ‘Uqbah bin Abi Mu’ith. Sebagai bentuk penyesalan dan kesedihan dari sifat yang berlebihan di sisi Allah, iaitu dengan berbuat maksiat dan kekufuran kepada Allah, dengan mena’ati kawannya yang menghalanginya dari jalan Tuhannya.[43]

Menurut Imām al-Zamakhshariy, ungkapan seperti menggigit kedua tangan dan jari-jari, jatuh di tangan, memakan jari-jari tangan, membakar gigi-gigi merupakan bentuk-bentuk kināyah dari kemarahan dan kesedihan, karena kata-kata tersebut merupakan padanannya. Perihal ini dilakukan untuk meninggikan bentuk pengungkapan untuk sampai kepada tingkat kefasihan, sehingga orang yang mendengar akan mendapatkan keindahan dan kebaikan, perkara ini tidak terdapat pada ungkapan yang biasa. Pandangan yang sama juga dinyatakan oleh Wahbah al-Zuhayliy dalam tafsirnya.[44]

            Seseorang yang tidak mempelajari dan mendalami aspek ilmu Balāghah ini, tidak akan mampu untuk memahami makna di sebalik ayat-ayat al-Qur’ān. Sebatas membaca terjemahan al-Qur’ān tidak akan menyampaikan seseorang kepada isi dan kandungan al-Qur’ān yang sebenarnya. Pemahaman yang dihasilkan tidak pernah menggambarkan maksud yang tepat dari ayat-ayat suci al-Qur’ān yang sebenarnya.

Kurangnya penguasaan seseorang terhadap bahasa Arab dan seluk beluknya,  dan ilmu Balāghah khususnya di dalam menterjemahkan al-Qur’ān akan mengurangi nilai kemukjizatan al-Qur’ān. Pemahaman yang didapatkan dari terjemahan al-Qur’ān ini hanya akan menjadi bacaan yang biasa saja, dan tidak memberikan kesan dan pengaruh yang berarti kepada pembacanya.

Bukan sebatas itu saja, pemahaman al-Qur’ān secara harfiah, yang tidak merujuk kepada seluk-beluk bahasa Arab ini, juga bisa menimbulkan kekeliruan, kesalahfahaman bahkan penyimpangan di dalam pemahaman ayat-ayat suci al-Qur’ān, baik itu dari aspek akidah, ibadah maupun akhlaknya. Perkara ini nampak dengan jelas bagi siapa saja yang membaca terjemahan secara harfiah ini.


3.6 Pemahaman Surah al-Zumar Ayat 67

Firman Allah Tacālā :

As-Sa’diy menjelaskan tentang ayat di atas : “Bahwa orang-orang musyrik tidak memuliakan dan mengagungkan Allah sebagaimana mestinya, mereka mengerjakan perkara yang sebaliknya, iaitu dengan apa yang mereka sekutukan. [46]

Menurut al-Māwardiy, terdapat dua pendapat terhadap kataوالسموات مطويات بيمينه , pertama bermakna dengan kekuatanNya, karena tangan kanan menunjukkan kekuatan. Kedua bermakna kekuasaanNya.[47] Al-Zuhayliy menambahkan, bahwa ayat ini menjelaskan keagungan, kekuasaan dan kesempurnaan kuat-kuasa Allah Ta’ālā, sebagaimana ayat ini menjelaskan kecil dan hinanya bumi dan langit apabila dibandingkan dengan kekuasaanNya.[48]

Departemen Agama Indonesia menterjemahkan ayat ini dengan : “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya Padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan”.[49]

Dari kajian di atas menunjukkan bahwa aspek pengembangan materi Ilmu Balaghah sangat penting. Terutama dengan menggunakan contoh-contoh yang diambil dari ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung nilai sastra yang sangat tinggi Dari berbagai buku dalam materi ini sering menggunakan contoh-contoh yang diambil dari syi’ir dan amtsal (pribahasa Arab). Maka, metode ini sangat perlu dan penting untuk menjelaskan makna yang tersirat dalam ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung Balaghah.

Dengan menggunakan Ilmu Balaghah sebagai metode dalam pemahaman makna al-Qur’an, maka ummat Islam akan bisa  menghayati dan merasakan keindahan dan ketinggian nilai sastra yang dikandungnya. Pada akhirnya, metode ini bisa meningkatkan kualitas bacaan ummat Islam. Mereka tidak hanya sekedar membaca al-Quran dengan anggapan bahwa membacanya sudah merupakan ibadah. Akan tetapi mereka berusaha untuk dapat mengapresiasi keindahan bahasa al-Quran dan kedalaman maknanya.


Kesimpulan

Penguasaan terhadap bahasa Arab tidak hanya sebatas pengetahuan terhadap tata-bahasa atau yang dikenal dengan grammatical saja, ia juga mencakup berbagai disiplin ilmu bahasa Arab yang lain. Bahkan menurut al-Qaradawiy, “Berpegang pada pengertian bahasa saja bisa membawa kepada banyak kesalahan.”[50].

Kekeliruan dan kesalahan juga terjadi ketika seseorang tidak menjelaskan ayat-ayat yang mengandungi Balāghah’. Artinya, ayat-ayat ini perlu kepada penjelasan yang lebih rinci dan luas. Tanpa merujuk kepada asal perkataan masing-masing dan penggunaannya dalam bahasa Arab, maka sangat mustahil bagi seseorang itu bisa memahami maksud dan kandungan ayat al-Qur’ān. Bukan sebatas itu, pemahaman al-Qur’ān yang tidak merujuk kepada seluk-beluk bahasa Arab, juga bisa menimbulkan kekeliruan, kesalahfahaman bahkan penyimpangan di dalam pemahaman terhadap kata dan ayat-ayat suci al-Qur’ān, baik dari aspek akidah, ibadah maupun akhlaknya.























DAFTAR PUSTAKA


al-Qur’ān al-Karīm.

Ali ibn Nayf al-Syahud, al-Khulasah fi ‘Ilmi al-Balaghah, Maktabah Syamela, juz 1.

Dayf, Shauqiy. t.th. Al-Wajīz Fī Tafsīr al-Qur’ān al-cAzīm. Cairo: Dar al-Macarif.

Departemen Agama Republik Indonesia. 1995. Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahnya. Indonesia: PT. Karya Toha Putra Semarang.

Ibn Kathīr, Abu al-Fidā' Ismāīl ibn Umar al-Qurasyiy ad-Dimasyqiy. 1999. Tafsīr Al-Qur'ān Al-cAzīm. Saudi Arabia: Dār Tayyibah.

al-Kilabiy, Muhammad ibn Ahmad ibn Juzayy. t.th. Kitāb al-Tashīl li cUlūm al-Tanzīl. Beirūt: Dār al-Fikr.

al-Tabariy, Muhammad ibn Jarīr ibn Yazīd ibn Kathīr ibn Ghālib al-Ẩmiliy abu Ja’far. 2000. Jāmic al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, Beirūt: Muassasah al-Risālah.

Terjemah Al-Qur’an Secara Lafzhiyah. 1983. Yayasan Pembinaan Masyarakat Islam Al-Hikmah/Yaa Salaam. Kuala Lumpur: Penerbitan Pustaka Antara.

al-Qaradawiy, Dr.Yusuf. 2000. Berinteraksi dengan Al-Qur’an, terj. Abdul Hayyie al-Kattani. Jakarta: Gema Insani Press.

Aly Al-Jarim, Mustafa Amin ( 1987 ) Al-Balaghah Al-Wadihah. Mesir : Darul-Ma’arif.

al-Zamakhshariy, Abu al-Qāsim Jārullah Mahmūd bin Umar bin Muhammad, 1995. Al-Kasshāf cAn Haqā’iq Ghawāmid al-Tanzīl Wa cUyūn al ‘Aqāwīl Fī Wujūh al-Ta’wīl. Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
al-Zuhayliy, al-Tafsīr al-Munīr fī al-cAqīdah wa al Sharī’ah wa al-Manhaj. 1418. Damaskus: Dar al Fikr al Mu’asir.



[1] Balaghah adalah keserasian antara ungkapan dengan tuntutan keadaan, disamping ungkapan itu sendiri sudah fasih. Ilmu Balaghah berarti suatu kajian yang berisi teori-teori dan pembahasan yang berkaitan dengan cara-cara penyampaian ungkapan yang bernilai Balaghah itu sendiri. Khatib al-Qazwini yang dikutip oleh Prof. Dr. Abdul Fattah Lasyin.
[2] al-Qur’ān, al-Shuacarā’ 26 : 192-195.
[3] al-Qur’ān, Yūsuf 12 : 2.
[4] Ibn Hishām, tth, As-Sīrah an-Nabawiyyah,  Cairo, al-Maktabah al-Taufīqiyyah, juz. 1, hlm. 115.
[5] Ibn Hishām, tth, As-Sīrah an-Nabawiyyah, hlm. 120.
[6] Ali ibn Nayf al-Syahud, al-Khulasah fi ‘Ilmi al-Balaghah, Maktabah Syamela, juz 1, hlm. 1. Aly Al-Jarim, Mustafa Amin, Al-Balaghah Al-Wadihah. Mesir : Darul-Ma’arif, hlm. 3.


[7] al-Qur’ān, al-Isrā’ 17 : 29.
[8] Terjemah Al-Qur’ān secara lafziah ini dikeluarkan oleh Yayasan Pembinaan Masyarakat Islam Al-Hikmah/Yā Salām, dan diterbitkan juga di Malaysia oleh Penerbitan Pustaka Antara, Kuala Lumpur, dalam cetakan pertamanya pada tahun 1983.
[9] Terjemah Al-Qur’ān Secara Lafzhiyah. 1983. Yayasan Pembinaan Masyarakat Islam Al-Hikmah/Yā Salām. Kuala Lumpur: Penerbitan Pustaka Antara. juz. 7. hlm. 459.
[10] Kināyah adalah perkataan yang disebutkan untuk makna yang lazimnya, dan dibolehkan untuk makna yang dikehendaki tersebut. Ali al-Jarim & Musthafa Amin, al-Balāghah al-Wādihah, Cairo: Dār al-Ma’ārif, tt, juz.1. hlm. 146.
[11] Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-cAzīm, Dār al-Jail, Beirūt, juz. 3, hlm. 42.
[12] al-Zajjāj, Abu Ishāq Ibrāhīm al-Sāriy. 1998, Macāniy al-Qur’ān wa Icrābuhu, cAlam al-Kutub, Beirūt, juz. 3. hlm. 236.
[13] al-Zamakhshariy, Al-Kasshāf,  juz. 2. hlm. 636.
[14] Dayf, Al-Wajīz Fī Tafsīr al-Qur’ān al-cAzīm. Dār al-Macārif, Cairo, hlm. 471.
[15] al-Taymiy, Abu cUbaydah Macmār ibn al-Muthannā. ed. Muhammad Fuad Shazkīn. t.th. Majāz al-Qur’ān, Maktabah al-Khanjiy,  Cairo, t.tp,  juz. 1. hlm. 375.
[16] Al-Qur’ān Al-Karīm dan Terjemahnya, Departemen Agama.
[17]al-Qur’ān, al-Māidah 5 : 64.  
[18] Ibn Kathīr, 1999, Tafsīr Al-Qur'ān al-cAzīm, juz. 1, hlm. 146.
[19] al-Zuhayliy, al Tafsīr al Munīr,   juz. 6. hlm. 249.
[20] Al-Qur’an Al-Karīm dan Terjemahannya, Departemen Agama. Tim penterjemah memberikan penjelasan pada catatan kaki: "Tangan Allah terbelenggu" maksudnya ialah kikir. Dan perkataan “tangan merekalah yang dibelenggu” Kalimat-kalimat ini adalah kutukan dari Allah terhadap orang-orang Yahudi berarti bahwa mereka akan terbelenggu di bawah kekuasaan bangsa-bangsa lain selama di dunia dan akan disiksa dengan belenggu neraka di akhirat kelak.
[21] al-Qur’ān, al-Isrā’ 17 : 24.
[22] al-Isti’ārah adalah salah satu bentuk tashbīh yang kaitan antara makna asli bagi lafaznya dan makna yang digunakan untuk dikiaskan adalah segi persamaan. Misalnya, mengkiaskan seorang pemberani (al-shuja’) dengan harimau, seperti dalam kalimat : رأيت الأسد يخطب على المنبر. al Jurjaniy, Asrār al Balāghah, juzuk. 1. hlm. 10. Lihat juga : Ali ibn Nayf al Syuhud, al Khulāsah fī ‘Ulūm al Balāghah, juz. 1. hlm. 43.
[23] al-Kilabiy, Kitāb al-Tashīl li cUlūm al-Tanzīl. Dār al-Fikr, Beirūt, juz. 2. hlm. 170.
[24] Ibn Kathīr, Tafsīr Al-Qurcān al-cAzīm, juz 5 hlm. 66.
[25] al-Zamakhshariy, Tafsīr al-Kasshāf, juz 3, hlm. 433.
[26] Terjemah Al-Qur’ān Secara Lafziyyah. 1983. juz . 5. hlm. 335.
[27] Terjemah Al-Qur’ān Secara Lafziyyah. hlm. 335.
[28] Al-Qur’ān Al-Karīm dan Terjemahnya, Departemen Agama.
[29] al-Qur’ān, al-Hijr 15 : 88.
[30] al-Qur’ān, al-Shu’arā 26 : 215.
[31] al-Qur’ān, Maryam 19 : 4.
[32] Ibn Kathīr, juz. 5. hlm. 212. al-Jazāiriy, Aysar al Tafāsīr, juz.2. hlm. 404.
[33] al-Zamakhshariy, 1995. juz. 4. hlm. 61.
[34] Kināyah  : penunjukan terhadap suatu makna yang dimaksud dengan secara tidak langsung, dimana lafazh yang diguna-pakai tidak sampai keluar daripada makna hakikinya kepada makna majazinya. al-Tiftazāniy, Mukhtasar al Ma’āniy, juz.1. hlm. 242.
[35] al-Zuhayliy, juz.15. hlm. 50.
[36] Al-Qur’ān Al-Karīm dan Terjemahnya, Departemen Agama.
[37] al-Qur’ān, al-Kahfi 18 : 42.
[38] al-Zamakhshariy, Al-Kasshāf, juz.4. hlm. 17. Lihat : al-Alūsiy, h al-Macāniy,  juz. 11. hlm. 262. Lihat : al-Zuhayliy, al Tafsīr al Munīr,  juz.12. hlm. 249.
[39] al-Tabariy, juz. 18. hlm. 27. Lihat : al-Baghawiy, Ma’ālim al Tanzīl, juz. 5. hlm. 173. al-Māwardiy, Al-Nukat wa al-cUyūn, juz. 2. hlm. 478.
[40] Al-Qur’ān Al-Karīm dan Terjemahnya, Departemen Agama.
[41] al-Qur’ān, al-Furqān 25 : 27.
[42] Ibn Kathir, Tafsīr Al-Qur'ān al-cAzīm, juz. 6. hlm. 108.
[43] al Baghawiy, Ma’ālim al Tanzīl, juz.6. hlm. 80.
[44] al-Zamakhshariy, al Kasshāf, juz. 4. hlm. 452. al-Zuhayliy, al Tafsīr al Munīr, juz. 19. hlm. 49.

[45] al-Qur’ān, al-Zumar 39 : 67.
[46] as-Sa’diy, Taysīru al Karīm ar Rahmān Fī Tafsīr Kalām al Mannān,  juz.1.hlm. 729.
[47] al-Māwardiy, An-Nukat wa al-cUyun, juz. 4. hlm. 23.
[48] al-Zuhayliy, al Tafsīr al Munīr, juz. 24. hlm. 46.
[49] Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahannya, Departemen Agama. Tim penterjemah memberikan penjelasan pada catatan bawah : Ayat ini menggambarkan kebesaran dan kekuasaan Allah dan hanya Dialah yang berkuasa pada hari kiamat.
[50] al-Qaradawiy, 2000, Berinteraksi dengan Al-Qur’ān, Gema Insani Press, cet. II, hlm. 336.

3 komentar:

  1. Assalamuaalaikum.
    Harapnya tuan sihat sejahtera.

    Saya merupakan Mahasiswa University Yarmouk, Irbid, Jordan. Saya merupakan salah seorang ahli Akademi Syariah Majlis Mahasiswa Yarmouk. Untuk pengetahuan tuan, saya ditugaskan membuat kajian mengenai Ilmu Balaghah dalam Al-Quran.

    Jadi saya ingin memohon izin tuan untuk saya kedepankan artikel ini dalam kajian saya.

    Tuan boleh menghubungi saya secara langsung melalui :

    Facebook : Putera Muhammad Muizz
    Telefon : +962 78 706 4218

    Jasa dan penelitian tuan mengenai permohonan saya ini amat saya hargai.

    Sekian, terima kasih.
    Yang Benar,
    Putera Muhammad Mu`izz Bin Mahayudin
    Ahli Akademi Syariah
    Majlis Mahasiswa yarmouk.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waalaikumsalam,
      terimakasih atas kunjungannya, dan kami minta maaf apabila balasan dari komentar anda baru kami jawab,
      untuk kajiannya silahkan anda pakai bila memang anda butuhkan,
      sesama umat Allah sebaiknya saling memberikan apa yang kita bisa,

      Jika ingin berbincang dengan narasumber dari artikel ini silahkan di
      facebook : Masyhuri Putra ( https://www.facebook.com/masyhuriumar )

      beliau adalah Dosen fak. Ushuluddin di Uin suska Riau

      Hapus
  2. Assalamualaikum.. nak tanya.. apakah mksud ayat 32 surah al kahfi dr segi balaghoh?? Terima kasih prof

    BalasHapus