Nafkah Hidup Wanita dalam Islam

Nafkah Hidup Wanita dalam Islam
                                   Oleh: Al-Ustadz H. Syamsuddin Muir, Lc. MA

Kasus tenaga kerja wanita (TKW) kembali mencuat ke ranah publik. Dan kasus ini menjadi isu nasional setelah seorang TKW, Ruyati dikenakan hukuman mati di Arab Saudi atas tuduhan pembunuhan. Sebelumnya, kasus TKW yang mengalami berbagai penderitaan fisik, pelecehan seksual, dan gaji tidak dibayar hanya sekedar menjadi berita hangat di media massa, tanpa penanganan serius dari pemerintah.



Hukum Qisas
Qisas merupakan hukum pidana Islam yang menerapkan pembalasan setimpal atas pelaku tindakan pidana kriminal. Seorang pelaku pembunuhan akan dikenakan hukuman mati, atau nyawa dibalas dengan nyawa (QS. al-Maidah: 45). Hukum Islam ini sesuai dengan hati nurani wali korban yang menginginkan hukuman setimpal terhadap pelaku pembunuhan. Bahkan, Khalifah Umar bin Khattab pernah menjatuhkan hukuman mati atas tujuh orang warga Yaman yang membunuh satu orang. Dan Umar pernah berkata, jika seluruh penduduk Sanaa telibat dalam pembunuhan itu, niscaya mereka semua akan dihukum mati (Abd al-Qadir Audah: al-Tasyrik al-Jinai al-Islamy: 2/40).


Sebagai negara yang menerapkan syariat Islam, Arab Saudi menerapkan hukum qisas. Dalam kasus TKW yang dikenalakan hukuman mati, Ruyati didakwa membunuh isteri majikannya, Khairiyah, dan Ruyati tidak menyangkal tuduhan itu. Setelah memfasilitasi mediasi dengan pihak keluarga Khairiyah, Ruyati tidak diberikan maaf oleh keluarga korban. Maka pengadilan Arab Saudi memvonis hukuman mati (pancung) atas Ruyati. Komitmen Arab Saudi menerapkan syariat Islam (hukum qisas dan hudud) itu telah berhasil menempatkan dirinya sebagai negara paling rendah angka kriminal dan perzinaan. Dan itu diakui oleh guru besar sistem peradilan pidana dari Sam Houston State University, Texas, Amerikam, Prof. Souryal.

Nafkah Hidup Wanita
Sebenarnya, seorang lelaki wajib bekerja mencari nafkah untuk diri dan keluarganya. Dan wanita sebagai anak, nafkah hidupnya ditanggung oleh ayahnya. Pernah, istri Abu Sufyan, Hindun mengaku kepada Rasulullah SAW, karena Abu Sufyan yang hidup berkemampuan tidak memberikan nafkah yang cukup kepada anaknya. Lalu, Rasulullah SAW mengizinkan kepada Hindun mengambil harta Abu Sufyan tanpa sepengetahuannya, untuk nafkah dirinya dan anak-anaknya (HR. Imam Bukhari). Kewajiban seorang ayah memberikan nafkah hidup kepada anak-anaknya sudah menjadi kesepakatan ulama Islam, dan sesuai dengan tuntunan surat al-Baqarah, ayat 233 (Imam Ibnu Qudamah: 1997).
Wanita sebagai isteri, nafkah hidupnya tanggung jawab suaminya yang merupakan kepala keluarga (QS. an-Nisaa': 34). Dan jika suami tidak punya kemampuan memberikan nafkah kepada isterinya, maka dia tidak lagi dianggap sebagai kepala keluarga (Imam al-Qurthubi: 2006). Dan seorang isteri yang telah bercerai dengan suaminya, maka nafkah hidupnya kembali ditanggung oleh ayahnya (Imam Ibnu al-Humam: Fath al-Qadir: 4/217). Wanita sebagai ibu, nafkah hidupnya berada dalam tanggungan anaknya. Seorang anak lelaki berkewajiban memberikan nafkah kepada orang tuanya yang hidup dalam kesusahan. Bahkan sebagian ulama lebih mengutamakan nafkah untuk ibu dengan memberikan jumlah yang lebih besar kepadanya (Shalah al-Din Sulthan: 1999)

Wanita Mencari Nafkah
Jelas, dalam Islam nafkah hidup seorang wanita itu merupakan tanggung jawab orang tuanya, suaminya, dan atau saudaranya. Jika mereka yang bertanggung jawab itu tidak berkemampuan memenuhi nafkahnya, maka seorang wanita boleh bekerja sesuai kemampuannya. Jika diperlukan, atau pekerjaan itu yang memerlukannya, maka wanita boleh saja bekerja di luar rumah. Bahkan bekerja di luar rumah itu bisa menjadi wajib atas seorang wanita, jika itu sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dan bekerja di luar rumah bagi wanita itu bisa saja menjadi sunat (tidak wajib), jika dia hanya bekerja membantu suaminya. Bisa saja wanita bekerja di luar rumah itu menjadi mubah (boleh) tidak dianjurkan, jika dia sendiri tidak membutuhkan pekerjaan itu, atau pekerjaan itu tidak memerlukan dirinya. Dalam kondisi begitu, seorang wanita lebih baik berdiam di rumah, menjaga kehormatan dirinya, dan atau mengurus suami dan anak-anaknya (Nashar Farid Washil: Fatawa al-Mar'ah).

Namun begitu, wanita yang bekerja juga wajib menjaga adab ketika keluar rumah, adab berpakaian, adab berjalan, adab berbicara, dan adab dalam gerak geriknya. Dan pekerjaannya juga tidak mengabaikan kewajiban yang lain, seperti kewajiban terhadap suaminya, atau anak-anaknya (Yusuf al-Qaradhawi: 1997). Berpegang dengan tuntunan Islam ini, sebagian negara Arab hanya mengirimkan tenaga kerja lelaki ke luar negeri, dan para wanita hanya bekerja di negaranya sendiri. Karena, kewajiban mencari nafkah hidup mereka itu ada di atas pundak lelaki yang mungkin sebagai ayahnya, suaminya, anaknya, atau saudaranya. Bahkan, fatwa ulama Islam tidak membenarkan wanita terbang di udara jadi pramugari untuk mencari rezeki. Karena wanita yang musafir itu mesti keberangkatannya disertakan dengan mahram-nya (HR. Imam Muslim). Jelas, fatwa ulama Islam itu juga tidak membenarkan TKW mengadu nasib ke luar negeri, dan mahramnya (ayah, suami, anak) yang mesti mencari nafkah hidupnya malah berdiam diri menerima kiriman hasil kerjanya.

Berbagai tragedi yang menimpa nasib TKW di luar negeri itu juga memperburuk martabat bangsa besar ini. Tragedi TKW itu juga menunjukkan negara besar ini dipimpin oleh orang bermental lemah, sehingga tidak mampu menjaga kehormatan diri warganya, dan tidak mampu menyediakan kerja yang layak kepada penduduknya. Malah kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah di negara ini disedekahkan kepada kekuasaan asing. Dan harta kekayaan negara ini hanya dinikmati sebagian besar penguasa saja. Dan penegakan hukum memberantas korupsi hanya merupakan lipstik politik untuk menjaga citra diri saja. Maka sungguh ironis, negara besar yang kaya ini berubah menjadi bangsa pengemis ke negara asing. Sungguh benar pernyataan Al-Quran, bahwa bangsa yang tidak komitmen dengan seluruh syariat Islam (kaffah) itu akan menjadi bangsa yang hina di dunia ini (QS. al-Baqarah: 85). Wallahua'lam.
(Dikutip dari harian Riau Pos, edisi Jum'at - 14 Sya'ban 1432 H)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar