Pesan Moral Ibadah Haji


 


Oleh: Dr. H. Helmi Basri, MA
Para Dhuyufurrahman (tamu Allah) itu telah mulai kembali dari tanah suci, setelah sebulan lebih mereka meninggalkan kampung halaman, keluarga, sanak saudara dan handai taulan.



Isak tangis kegembiraan menyambut kedatangan mereka yang telah kembali dengan selamat, dengan menggantungkan satu harapan dan lantunan do'a "semoga mereka yang pulang meraih haji yang mabrur".

Perjalanan ibadah haji merupakan sebuah perjalanan spiritual (rihlah ruhiyah) yang sarat dengan pesan-pesan moral. Al-Quran mengistilahkan dengan "manafi" (lihat QS. Al-Hajj: 27-28).

Bahwa para jama'ah haji yang datang dari tempat yang berjauhan supaya mereka meraih manfaat di balik perjalanan tersebut.

Pada hakekatnya ibadah haji merupakan sebuah madrasah kubro, sebuah tempat pembelajaran yang akan selalu mendidik jiwa, yang akan membimbing para pelakunya menuju kesholehan pribadi dan masyarakat.

Apabila kita mau menghayati dan mentadabburi sejenak prosesi  pelaksanaan ibadah haji, maka akan kita temukan pelajaran yang sangat berharga yang bisa kita jadikan acuan agar hidup lebih terarah dan lebih bermakna.

Pelajaran tersebut harus selalu dihidupkan dan dipertahankan oleh semua umat Islam khususnya bagi mereka yang melaksanakannya, agar hajinya dapat dikatakan mabrur, bukan sekedar rutinitas tahunan yang hampa makna.

Tulisan ini mencoba untuk mengungkap beberapa pesan moral di balik pelaksanaan ibadah haji yang harus selalu dipertahankan dalam kehidupan sehari-hari setelah mereka kembali dari tanah suci. Pesan moral itu antara lain:

Pertama: Mempertahankan spirit “labbaik”

Makna dari ungkapan "labbaikallahuma labbaik" adalah "aku perkenankan panggilanMu ya Allah". Tak terhitung berapa kali lafaz itu terucap oleh para jama'ah haji. dan itulah kalimat yang paling utama untuk dilantunkan setelah niat haji atau niat umroh terucap.

Seorang jama'ah haji ketika ia mengucapkan kata-kata "labbaikallahumma labbaik" berarti ia sedang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT untuk siap mentaati apa saja aturanNya, baik yang diperintahkan maupun yang dilarang selama menjalankan ibadah haji.

Bahkan lafaz labbaik yang diulang berkali-kali itu bisa diartikan sebagai ikrar secara sadar atau janji serius untuk selalu komitmen dengan aturan Allah.

Sejatinya komitmen tersebut tidak boleh dibatasi oleh ruang dan waktu. Ia bukan hanya untuk di kota suci selama pelaksanaan ibadah haji, dan juga bukan hanya untuk mereka yang berhaji.

Sebab sepantasnyalah ungkapan labbaik dengan segala kandungan dan semangat spiritualnya harus selalu tertanam dalam sanubari setiap individu muslim dalam menyikapi perintah dan larangan Allah SWT pada semua lini kehidupan.

Maka berbagai bentuk hukum dan aturan Allah dalam hal ibadah, muamalah, sosial, ekonomi, politik dan sebagainya haruslah selalu diterima oleh pelakunya dengan senang hati dan dengan semangat labbaik.

Maka spirit labbaik bisa menghentikan perilaku korupsi, kecendrungan berbohong dan ketidakadilan, serta sikap dan tindakan lain yang menyimpang dari rel kebenaran.

Kedua: Mempertahankan semangat ibadah yang berkesinambungan

Apabila kita cermati pelaksanaan ibadah haji dari awal sampai akhir, kita akan sampai kepada satu konklusi bahwa gerakan haji merupakan perpindahan dari satu ibadah ke ibadah lain, dan dari satu zikir ke zikir yang lain.

Sepertinya para dhuyufurrohman itu tidak menghiraukan rasa lelah ketika hampir sehari wukuf di Padang Arafah, lalu menuju Muzdhalifah dan Mina, lalu kemudian ke Mekkah untuk thawaf Ifadhah.

Semua itu dilakukan untuk melengkapi dan menyempurnakan hajinya dengan berbagai ibadah dan zikir. Semangat beribadah dan berzikir secara kontinyu itulah yang harus dibawa pulang oleh yang berhaji.

Dan semangat itu jugalah yang harus selalu tumbuh dalam jiwa-jiwa umat Islam. Jangan sampai ada detik-detik kehidupan kita yang dilalui tanpa memberikan kontribusi positif, baik bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat.

Pastikan waktu untuk sesuatu yang bernilai ibadah. Dalam Al-Quran dikatakan: “apabila telah selesai satu aktifitas maka bersegeralah untuk melaksanakan aktifitas yang lain” (QS. Al-Inyirah: 7-8).

Tentu saja yang dimaksud dengan ibadah di sini bukan  ibadah mahdhoh saja seperti sholat dan puasa, melainkan seluruh bentuk kebaikan yang membawa kepada kemaslahatan masyarakat seperti yang pernah didefinisikan oleh Ibnu Taimiyah Al Harroni.

Sebagaimana zikir yang dimaksud di sini bukan hanya zikrul lisani (zikir lidah) akan tetapi mencakup zikrul qalbi (zikir hati) dan zikrul jawarih (zikirnya seluruh anggota tubuh).

Apabila ibadah dan zikir sudah dipahami dengan pengertiannya yang luas seperti di atas, maka kita bisa menjadikan semua perkataan dan perbuatan serta aktifitas kita, bahkan diamnya kita sebagai ibadah.

Para pejabat yang sibuk dengan urusan kantornya sebenarnya hal itu adalah zikir dan ibadah. Kesibukan petani di sawah itu juga bisa bernilai zikir dan ibadah, sebagaimana aktifitas para pedagang di pasar pada hakekatnya masih berada dalam kerangka zikir dan ibadah.

Apa saja aktifitas yang sesuai dengan ketentuan Islam dan mendatangkan kemaslahatan kepada umat, itu adalah zikir dan ibadah, dan itulah hakekat tujuan hidup manusia. Allah berfirman: “tidaklah Aku jadikan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu” (QS. Az-Zariat: 56).

Ketiga: Mempertahankan semangat bermusuhan dengan syaithon.

Melalui ibadah haji Allah SWT menginginkan hambanya agar menjadikan syaithon dan hawa nafsu itu sebagai musuh, oleh sebab itulah salah satu dari sikap yang akan merusak pahala haji adalah melontarkan kata-kata permusuhan dan kasar, kata-kata kotor dan jorok yang akan membangkitkan nafsu birahi, karena semua itu berawal dari bisikan syaithon dan hawa nafsu.

Nabi bersabda "barangsiapa yang berhaji dan ia tidak melakukan sikap permusuhan, berkata kotor dan ropats maka hajinya akan menghapus semua dosanya, ia suci seperti baru dilahirkan ibunya" (HR. Muttafaqun 'alaih).

Simbol permusuhan terhadap syaithon tergambar pada saat melontar jumroh, yang merupakan bagian dari kewajiban haji.

Walaupun yang dilempar oleh jama'ah haji itu bukan lagi syaithon, tetapi semua itu mengingatkan kita kepada peristiwa Nabi Ibrahim (as) dulu yang mendeklarasikan permusuhannya terhadap syaithon dengan mengusir dan melontarnya.

Permasalahan yang sesungguhnya sekarang bukan pada mengetahui syaithon itu sebagai musuh, karena semua orang tau itu. tetapi persoalannya adalah bagaimana membuktikan dalam kehidupan sehari-hari bahwa syaithon itu benar-benar sebagai musuh, itu yang selalu harus dilakukan.

Oleh sebab itu, Allah SWT menekankan dalam firmannya "sesungguhnya syaithon itu adalah musuh bagi kalian, maka jadikanlah ia benar-benar sebagai musuh" (QS. Faathir: 6). Ayat ini adalah sindiran bagi siapa saja yang mengetahui bahwa syaithon itu adalah musuh,  tetapi justru ia menjadikannya sebagai teman akrab sehari- hari.

Keempat: Mempertahankan semangat  kebersamaan dalam membangun masyarakat

Ibadah haji adalah gambaran kebersamaan dan persaudaraan yang dibangun di atas iman, dengan satu tujuan, yaitu menggapai ridho Allah SWT.

Ibadah haji merupakan kesempatan untuk berkumpulnya umat Islam yang datang dari berbagai penjuru bumi, dan dari suku bangsa serta karakter yang berbeda-beda. Namun, mereka berkumpul pada tempat yang sama dengan pakaian yang sama.

Sungguh tidak ada beda antara mereka di sisi Allah, antara pejabat dengan rakyat, antara kulit putih dengan kulit hitam, antara arab dengan yang `ajam, yang ada hanyalah keimanan dan ketaqwaan. Siapa saja di antara mereka yang paling bertaqwa maka dialah yang paling mulia dan tinggi kedudukannya di sisi Allah SWT (QS. Al-Hujuraat: 13)

Semangat kebersamaan inilah yang harus tumbuh di hati semua muslim, mereka merasa sama dan satu di sisi Allah walaupun di antara mereka memiliki kekurangan dan kelebihan, dengan demikian jangan sampai ada rasa minder dalam menjalani hidup disebabkan oleh kekurangannya, dan sebaliknya juga jangan ada yang bersikap sombong dan angkuh dikarenakan oleh kelebihan yang ia miliki, sungguh semua punya kesempatan yang sama untuk beramal dan berkarya dalam membangun agama dan negara sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Jangan jadikan perbedaan sebagai awal perpecahan, tapi jadikanlah sebagai ladang kebaikan dan pintu ibadah yang terbuka lebar dalam mengisi kehidupan agar lebih baik dan bermakna.

*. Penulis adalah Dosen Fak. Syari`ah dan Ilmu Hukum UIN SUSKA Riau, STAFF ILMU & IMAN FOUNDATION

Tidak ada komentar:

Posting Komentar